BATU HITAM

(Nama dan cerita dalam kisah ini hanyalah fiktif belaka)

Aldo adalah remaja menginjak dewasa, seorang penghuni Panti Asuhan di ujung selatan Yogyakarta. Sosoknya dikenal grusa-grusu, terlalu percaya diri dan merasa paling gigih dalam mencari hikmat. Suatu minggu, dari tangan pembimbingnya ia menerima sebuah amplop yang berisi sepucuk surat dari seorang yang tidak dikenalnya.

Jauh di tempat lain, tepatnya di kota Banten adalah juga seorang anak yang sedang tumbuh dewasa bernama Aldi. Seperti Aldo, Aldi juga tinggal di sebuah Panti Asuhan. Keduanya tidak memahami alasan dibesarkan di tempat seperti itu.

Dua hari sebelum Aldo, tepatnya di hari Jumat, Aldi juga menerima sepucuk surat dari seseorang yang tidak dikenalnya. Yang aneh dari peristiwa keduanya adalah surat tersebut bertuliskan isi yang sama.

“… Anakku, ambil dan rawatlah sepetak tanah yang berada di tengah kampung Progowetan. Berbagilah kebahagiaan dengan saudara-saudaramu. Ingat! Yang bertanda sebuah batu hitam…”, begitulah kira-kira beberapa penggalan kalimatnya.

“Ingat! Yang bertanda sebuah batu hitam.”, teks khusus berwarna merah seolah sengaja ditegaskan oleh penulis yang berbeda.

Singkat cerita, kedua remaja itu bergegas meninggalkan asalnya, menuju ke alamat yang dimaksud dalam suratnya. Berbekal semangat dan teknologi googlemap mereka mencari titik lokasi yang ditunjukkan. Teliti sekali mereka mengukur setiap posisi, menandai dan menyusuri tanda-tanda yang ditemukannya.

Di suatu lahan yang luas, Aldi menemukan gundukan batu hitam, gundukan pasir, bata merah serta beberapa lonjor besi. Tampaknya bakal pondasi rumah mewah yang prosesnya terbengkalai.

“Hei! Siapa kamu? Beraninya menyentuh batu hitam milikku!”, ketika tangan kanan Aldi berupaya memegang salah satu bongkahan batu hitam, terdengarlah teriakkan Aldo yang mengagetkanya. Rupanya Aldo juga menemukan titik lokasi yang sama dengannya.

“Enak saja! Semua lahan beserta isinya ini adalah milikku!”, timpal Aldi.

“Enak saja!!!”, Aldo pun semakin naik pitam. Tanpa disadari, keduanya tangangnya juga sudah memegang batu-batu hitam di hadapanya.

Keduanya terlibat cekcok di tanah asing tanpa ada yang melerai. Batu demi batu telah lepas dari kendali tangan mereka. Cucuran darah dari luka di kepala membuat keduanya jatuh tidak sadarkan diri.

Saat siuman, keduanya mendapati sudah berada di tengah kerumunan warga yang ingin menolong. Seseorang yang tampaknya ketua RT, duduk mendekat dan menyapa, “Adik-adik. Apa yang kalian ributkan sehingga saling menyakiti?”

“Dia hendak merampas tanah warisanku!” teriak keduanya serempak, sambil menunjukkan suratnya masing-masing.

Warga pun bengong, namun mereka tidak merasa heran ketika situasi itu bersambut dengan suara Pak RT yang naik pitam, “Enak aja! Ini tanahku!”

Setelah beberapa saat menyelidiki isi surat yang dibawa Aldo dan Aldi, barulah mereka paham.

“Oh. Jadi begini adik-adik… Apa pun cara perhitungan yang kalian berdua lakukan, telah membawa ke titik yang salah. Tidak bisa disangkal, tanah ini memang milik kami. Itulah tanah yang dimaksud dalam surat ini.”, kata pak RT menjelaskan sambil menunjuk sebuah lahan yang berada di sebelah lahan tempat mereka berselisih. Lahan kecil yang berisi sebuah gubuk mungil, dua gundukan tanah dan sebilah batu besar. Batu yang tampak seperti batu prasasti berwarna hitam.

“Kalian adalah Aldo dan Aldi si saudara kembar anak dari dua jasad yang terbaring di atas gundukan-gundukan itu. Situasi yang sulit telah memisahkan kalian ke tempat yang berbeda. Percayalah, kedua orang tuamu adalah orang yang baik, hanya saja kurang beruntung dalam rejeki. Mereka saling setia, selalu bersama bahkan hingga akhir hidupnya. Untuk mengenang cinta mereka, warga kami menghadiahi sebuah batu nisan besar itu. Pasti mereka merindukan kalian berdua, terutama untuk melanjutkan semangat cintanya.” kata pak RT menjelaskan.

Pak RT menghampiri seorang remaja dan memperkenalkanya, “Ini adalah Alda, satu-satunya saudara kalian yang masih tersisa disini. Kalian adalah tiga saudara kembar.”

“Benar kak. Akulah yang menambahkan catatan bertinta merah pada surat dari ayah. Mengingatkan kakak berdua adanya penanda sebuah batu hitam. Maksudku, supaya kakak bisa lebih cepat menemukanku. Karena aku baru bisa mengirimkan suratnya setelah kepergian mereka. Namun yang aku belum paham, kenapa kakak saling menyakiti dengan batu hitam di tanah Pak RT? Bukankah aku menulisnya sebuah batu hitam? Bukan setumpuk?”, kata si saudara kembar ketiga.

Dalam tetes air mata haru, ketiganya bergegas mendekat ke makam. Penuh cinta mereka memeluk batu nisan orang tuanya. Sebuah batu nisan hitam yang berukirkan tulisan sangat indah.

“Romi & Juliah. Wafat, 14 Februari 2022.”

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published.