BERTEMU TUHAN
Baru saja aku terbangun dari bermimpi. Seberapa pun aku berusaha untuk menceritakan detail kisahnya, aku tetap merasa harus menambahkan sesuatu yang dramatis supaya kalian berkenan menyimaknya.
Mimpi tersebut membawaku berada dalam situasi penantian kebaktian Misa kudus. Persiapannya sedikit terhambat karena sosok pastor yang seharusnya memimpin acara belum siap jua. Belum tersedia juga adanya para remaja yang berkenan untuk membantu sebagai misdinar. Seorang sahabat akrab yang ingin menyediakan diri sebagai misdinar menyapaku, “Yuk, kita aja yang jadi misdinar!”
“Kita sudah terlalu tua. Aku tidak mau.”, jawabku.
Kemudian matanya tertuju kepada sahabat lain, seorang pastor muda yang duduk bersama di kursi umat, “Hem…, Apakah aku perlu mengajaknya…?”.
Sementara itu, seluruh umat dan petugas tampaknya juga tidak terkoordinasi pada situasi tersebut. Tampak pemimpin koor sudah mulai mengajak umat untuk meyanyikan lagu pembukaan.
Sayangnya, setelah lagu selesai, pastor dan para petugas yang diharapkanya pun tak kunjung menuju altar. Aku bergegas menuju ruang sakristi, berusaha memahami situasi yang terjadi di ruang persiapan tersebut. Tampak semua baik-baik saja, aku juga sudah melihat sosok berbusana pastor. Yang tidak biasa adalah kami melihat sosok tersebut sebagai Tuhan Yesus sendiri. Ruangan tersebut diliputi keheningan, semua rasa bercampur dalam hati. Karena situasi tersebut, umat memutuskan untuk menunggu seorang pastor lain yang berkenan memimpin perayaan tersebut.
Di ruangan gereja, umat terus bernyanyi dan patugas pun semakin diliputi kecemasan. Kemudian masuklah dua sosok yang siap berkonselebrasi tersebut di hadapan umat. Melihat salah satunya, umat pun bengong, terpukau, dan semua rasa kembali bercampur dalam hati mereka. Di tengah rasa yang tidak bisa diungkapkan tersebut, sosok itu hanya tersenyum, mendekati umat, dan menyalaminya. Menjelang akhir, aku pun mendapat bagian untuk menyalaminya. Ia menangkap kegelisahanku, menimpali dengan senyuman, kemudian menyelesaikan tiga jabat tangan terakhir di samping kiriku. Sementara itu, aku tak hentinya terpukau dengan wajahnya yang begitu lembut dan sejuk.
“Namaku Romo … (aku gagal mengingat namanya). Sejak awal bergabung di kongregasi, aku selalu berusaha menjelaskan siapa diriku kepada seluruh umat di paroki tempat karya. Namun mereka tetap menganggapku sebagai Tuhan Yesus yang menampakkan diri kepada mereka.”, ia menyapaku dan memulai percakapan.
“Di suatu masa, umat sedang dilanda cengkeraman wabah penyakit. Tidak tega melihat situasi tersebut, para sahabat pastor menyarankanku untuk menyudahi penjelasan siapa diriku kepada umat. Aku mengiyakan, kami berharap situasi duka wabah tersebut bisa segera disembuhkan dan tergantikan dengan situasi yang penuh pengharapan.”, lanjutnya dengan sebuah cerita.
“Benar, Tuhan bisa hadir dalam diri siapa saja. Tetapi bagaimana mungkin suatu pengharapan boleh dibangun dari sebuah tipu daya?”, tanyaku.
“Apakah hal tersebut sebuah tipu daya?”
Sayangnya percakapanku tersebut tersudahi oleh kesadaranku dan malam sudah beranjak pagi. Aku terjaga, namun semua membekas dalam kegelisahan. Aku pun bergegas membuka laptop dan menulisnya. Berharap trance ini tidak segera berada dalam keramaian.
#pesulapmerah #marcelradhival VS #gus_samsudin #branding #mitos #mitosisasi #storyteller #storytelling #pencitraan
Leave a Reply